Kamis, 24 November 2011

Budaya korporatif, Etika Bisnis dan Corporate Sosial Responsibilities


” Berbeda dengan masyarakat di negara-negara Barat, masyarakat Indonesia hingga saat ini masih belum berbudaya korporatif. Indonesia masih terperangkap oleh tradisi, sehingga tidak mudah untuk melakukan perubahan. Padahal budaya korporatif akan mempengaruhi cara kerja. Demikian dikemukakan oleh ekonom Rhenald Khasali saat memberikan orasi ilmiah berjudul Building Institution’s Character with Strong Culture, dalam rangka peringatan Dies Natalies ke 55 Universitas Indonesia di Jkarta, Kamis 24 Februari 2005.”
Corporatism di Barat sudah berjalan, dan menganggap sebuah institusi berbadan hukum sendiri. Tidak demikian masyarakat kita. Banyak PT di Indonesia yang sebenarnya bukan PT, melainkan warung. Untung ruginya tidak jelas, kata Rhenald.
Menurut Rhenald, suatu organisasi bisa bertahan panjang bukan dibentuk oleh manajemen yang hebat, tidak juga oleh orang-orang yang hebat, ataupun sistem, melainkan dibangun oleh kekuatan nilai-nilai (values). Corporate culture selalu menekankan bottom up, menggali segala sesuatu mulai dari bawah, bukan dari atas ke bawah. Dengan demikian, semua orang harus ditanya apa yang sebenarnya mereka inginkan. Corporate culture itu seperti bongkahan es, yang tampak hanyalah yang di atas berupa simbol-simbol seperti logo, cara berpakaian. Padahal yang harus dibangun adalah yang di bawah, yang tidak kelihatan, yaitu nilai-nilai baru. Manusia itu berkomunikasi secara simbolik, simbol sebagai identitas, Rhenald menambahkan.
Apa yang sebenarnya dimaksud dengan Budaya Kerja Korporasi?
Budaya kerja korporasi adalah keseluruhan kepercayaan (beliefs) dan nilai-nilai (values) yang tumbuh dan berkembang dalam suatu organisasi, menjadi dasar cara berpikir, berperilaku dan bertindak dari seluruh insan organisasi, dan diturunkan dari satu generasi ke generasi.
Budaya kerja dapat di daya gunakan sebagai daya dorong yang efektif dalam mencapai tujuan sesuai dengan visi dan misi organisasi.
Budaya kerja yang efektif dapat:
  • Menyatukan cara berpikir, berperilaku dan bertindak seluruh insan organisasi/korporasi
  • Mempermudah penetapan dan implementasi Visi, Misi dan Strategi dalam korporasi
  • Memperkuat kerjasama tim dalam korporasi, menghilangkan friksi-friksi internal yang timbul
  • Memperkuat ketahanan dalam menghadapi tekanan-tekanan eksternal.
Dari definisi di atas terlihat betapa budaya kerja memegang peranan penting dalam ketahanan suatu organisasi. Keluarga adalah perusahaan yang terkecil, disitu ada ayah, ibu dan anak-anak. Cara penyelenggaraan rumah tangga yang satu dan yang lain akan berbeda, karena sifat-sifat penghuninya yang berbeda. Tetapi ada beberapa hal yang sama antara keluarga satu dan lainnya, karena ibaratnya hidup dalam satu lingkungan, maka untuk membuat lingkungan aman dan nyaman, ada peraturan-peraturan yang harus dipahami dan dipatuhi oleh anggota lingkungan tersebut. Peraturan ini dibuat oleh orang-orang atau keluarga dilingkungan tersebut, sehingga peraturan tersebut akan ditaati tanpa beban, bahkan anggota lingkungan merasa nyaman karena ada peraturan tersebut, sehingga masing-masing tahu ” apa yang boleh dan yang tidak boleh untuk dilakukan”.
Sekarang bagaimana membentuk budaya kerja korporatif? Di dalam budaya korporatif, peran pemimpin sangat penting, antara lain, sebagai: 1) First Adapter, penerima dan pelaksana pertama dari budaya kerja, 2) Motivator, untuk mendorong insan organisasi/korporasi melaksanakan budaya kerja secara konsisten dan konsekuen, 3) Role Model, teladan bagi insan korporasi terhadap pelaksanaan Budaya Kerja, dan 4) Pencetus dan pengelola strategi, dan program budaya kerja sesuai kebutuhan korporasi.
Dari ulasan di atas, terlihat bahwa pembentukan budaya korporatif yang baik, yang paling menentukan adalah orang-orangnya. Sebaik apapun aturan atau sistem di buat, tanpa ada keinginan dari manusia untuk berubah ke arah yang lebih baik, semuanya menjadi tak berarti.
Etika Bisnis
Secara umum, prinsip-prinsip yang berlaku dalam bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia, dan prinsip-prinsip ini sangat erat terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masing-masing masyarakat.
Sonny Keraf (1998) menjelaskan, bahwa prinsip etika bisnis sebagai berikut;
  • Prinsip otonomi; adalah sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan kesadarannya tentang apa yang dianggapnya baik untuk dilakukan.
  • Prinsip kejujuran. Terdapat tiga lingkup kegiatan bisnis yang bisa ditunjukkan secara jelas bahwa bisnis tidak akan bisa bertahan lama dan berhasil kalau tidak didasarkan atas kejujuran. Pertama, jujur dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak. Kedua, kejujuran dalam penawaran barang atau jasa dengan mutu dan harga yang sebanding. Ketiga, jujur dalam hubungan kerja intern dalam suatu perusahaan.
  • Prinsip keadilan; menuntut agar setiap orang diperlakukan secara sama sesuai dengan aturan yang adil dan sesuai kriteria yang rasional obyektif, serta dapat dipertanggung jawabkan.
  • Prinsip saling menguntungkan (mutual benefit principle) ; menuntut agar bisnis dijalankan sedemikian rupa sehingga menguntungkan semua pihak.
  • Prinsip integritas moral; terutama dihayati sebagai tuntutan internal dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar perlu menjalankan bisnis dengan tetap menjaga nama baik pimpinan/orang2nya maupun perusahaannya.
Pertanyaan nya bagaimana menerapkan prinsip-prinsip etika bisnis ini agar benar-benar dapat operasional? Sonny juga menjelaskan, bahwa sesungguhnya banyak perusahaan besar telah mengambil langkah yang tepat kearah penerapan prinsip-prinsip etika bisnis ini, kendati prinsip yang dianut bisa beragam. Pertama-tama membangun apa yang dikenal sebagai budaya perusahaan (corporate culture). Budaya perusahaan ini mula pertama dibangun atas dasar Visi atau filsafat bisnis pendiri suatu perusahaan sebagai penghayatan pribadi orang tersebut mengenai bisnis yang baik. Visi ini kemudian diberlakukan bagi perusahaannya, yang berarti Visi ini kemudian menjadi sikap dan perilaku organisasi dari perusahaan tersebut baik keluar maupun kedalam. Maka terbangunlah sebuah etos bisnis, sebuah kebiasaan yang ditanamkan kepada semua karyawan sejak diterima masuk dalam perusahaan maupun secara terus menerus dievaluasi dalam konteks penyegaran di perusahaan tersebut. Etos inilah yang menjadi jiwa yang menyatukan sekaligus juga menyemangati seluruh karyawan untuk bersikap dan berpola perilaku yang kurang lebih sama berdasarkan prinsip yang dianut perusahaan.
Berkembang tidaknya sebuah etos bisnis ditentukan oleh gaya kepemimpinan dalam perusahaan tersebut.
Tanggung jawab Sosial Perusahaan
Tanggung jawab sosial dan keterlibatan perusahaan dalam berbagai kegiatan sosial merupakan suatu nilai yang sangat positif bagi perkembangan dan kelangsungan perusahaan dalam jangka panjang. Keterlibatan sosial perusahaan di masyarakat akan menciptakan suatu citra yang sangat positif. Biaya sosial yang dikeluarkan dianggap sebagai investasi jangka panjang. Kelestarian lingkungan, perbaikan prasarana umum, penyuluhan, pelatihan, dan perbaikan kesehatan lingkungan walaupun memerlukan biaya yang signifikan, namun secara jangka panjang sangat menguntungkan perusahaan, karena kegiatan tersebut menciptakan iklim sosial politik yang kondusif bagi kelangsungan bisnis perusahaan tersebut.
Dapat kita lihat, pada saat libur merayakan Hari Idul Fitri, beberapa perusahaan memberikan fasilitas mudik gratis bagi masyarakat yang terkait langsung dengan perusahaan, contoh; Bank dengan nasabahnya, perusahaan yang memproduksi obat tradisional dengan bakul jamunya dan lain-lain.
Bagi situasi dunia yang semakin global sekarang ini, masing-masing pihak saling tergantung, serta tidak ada lagi perusahaan yang tertutup atau tidak mau melakukan perbaikan-perbaikan untuk kemajuan. Perusahaan yang masih tidak mengindahkan hal-hal semacam ini, cepat atau lambat akan semakin ditinggalkan oleh pelanggannya.
Referensi:
1.Rhenald Khasali. “Masyarakat Kita Belum Punya Budaya Korporatif”, Kompas tanggal 26 Februari 2005 hal.10
2. Etika Bisnis.Prof.Dr. Sondang P.Siagian, MPA. Jakarta; PT Pustaka Binaman Pressindo, 1996
3. Etika Bisnis; tuntutan dan relevansinya. DR.A. Sonny Keraf. Jakarta; Penerbit Kanisius,1998

ETIKA BISNIS BANYAK DILANGGAR, PICU LEDAKAN BERUNTUN TABUNG GAS ELPIJI 3 KG


Program konversi minyak tanah ke gas Pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla memang patut diacungi jempol. Program ini mampu menghemat subsidi negara melalui APBN sebesar Rp 26 triliun. Hanya sayangnya, program besar ini masih memiliki masalah di dalam pelaksanaan di lapangan. Kasus ledakan dan kebocoran tabung gas nyaris terjadi setiap hari secara beruntun. Bahkan di Provinsi Bengkulu yang baru mendapatkan program konversi tahun 2011 ini, sudah mencatatkan satu kasus ledakan tabung gas 3 kg.
Kasus ledakan gas menurut catatan Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPNK) seperti diriliswww.KabariNews.com 8 Oktober 2010, tercatat sudah mencapai 97 kali sejak tahun 2007. Pada tahun 2007, tercatat 5 kasus dan 4 warga meninggal dunia. Kemudian tahun 2008 terjadi 27 kasus, dengan korban tewas dua orang dan luka-luka 35 orang. Pada tahun 2009 meningkat menjadi 30 kasus, dengan korban tewas mencapai 12 orang dan luka-luka 48 orang.
Lalu meningkat lagi menjadi 35 kasus hingga Agustus 2010, dengan korban tewas mencapai sembilan orang dan mengakibatkan 49 orang luka-luka. Dengan jumlah korban tewas puluhan orang dan korban luka lebih dari 100 orang, peristwa ledakan tabung gas tidak bisa dianggap remeh. Pemerintah harus bertanggung jawab penuh menyediakan peralatan tabung gas yang aman dan nyaman.
Mantan Wakil Presiden Yusuf Kalla mengaku sangat prihatin dengan maraknya ledakan tabung gas 3 kilogram tersebut. Sebagai penggagas program konversi, ia merasa turut bertanggung jawab atas apa yang terjadi. Ia meyakini, kasus ledakan yang terjadi murni aksi kriminal, dimana ada beberapa pelaku usaha ingin mencari untung besar. Yakni dengan memindahkan gas dari tabung gas 3 kilogram ke tabung 12 kilogram. Pasalnya ada selisih harga, dimana gas 12 kg, harganya perkilogramnya lebih mahal 38% dibanding gas tabung 3 kilogram. Akibatnya tabung gas 3 kg sering ‘’disodomi’’ untuk diambil gasnya, sehingga seal atau katup tabung gas banyak yang rusak. Saat dijual ke masyarakat, seal tersebut sudah bocor dan rentan meledak.
Modus lain adanya banyak beredarnya tabung gas illegal. Hal ini terungkap dari pengerebekan yang dilakukan Satuan Sumber Daya Lingkungan Direktorat Serse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya 2 Desember 2010 lalu pada pabrik tabung gas illegal milik JCA (50). Dari pabrik yang berlokasi di Jalan Mangga Ubi, Kapuk Cengkareng, Jakarta Barat tersebut berhasil diamankan 11.000 tabung gas 3 kilogram dan 200 tabung 12 kilogram. Semula pabrik ini resmi memproduksi dan menjual tabung gas ke Pertamina. Namun karena marak kasus ledakan tabung gas, Pertamina kemudian memutus hubungan kerja dengan pabrik milik JCA tersebut. Anehnya pabrik dengan puluhan pekerja ini tetap memproduksi tabung gas, dan menjualnya ke masyarakat. Logo SNI yang digunakan tabung buatan JCA dipalsukan.
Menurut Rudito (2007: 5) masalah-masalah etika dalam bisnis seringkali terbentur dengan berbagai dilema kepentingan yang ingin dicapai dalam bisnis itu sendiri.Sebuah etika yang dianggap sebagai nilai-nilai yang baik dalam komunitas tidaklah mudah begitu saja bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam menjalankan aktifitas bisnis, pelaku usaha dihadapkan pada banyak pihak yang juga memiliki kepentingan yang berbeda dan terkadang saling berseberangan. Bahkan pelaku usaha tidak bisa lagi membedakan apakah yang dilakukannya tu dapat dipandang etis atau tidak etis sama sekali. Alasan utama yang sering membuat nilai-nilai etika dalam bisnis menjadi sesuatu yang diabaikan adalah untuk mengejar keuntungan. Niat mengejar keuntungan membuat pelaku bisnis menjadikan sesuatu yang tadinya haram untuk dilakukan menjadi halal.

MASALAH POKOK DALAM ETIKA BISNIS


Andaikan anda adalah seorang direktur teknik yang harus menerapkan teknologi baru. Anda tahu teknologi ini diperlukan dapat meningkatkan efisiensi industri, namun pada saat yang sama juga membuat banyak pegawai yang setia akan kehilangan pekerjaan, karena teknologi ini hanya memerlukan sedikit tenaga kerja saja. Bagaimana sikap anda? Dilema moral ini menunjukkan bahwa masalah etika juga meliputi kehidupan bisnis. Perusahaan dituntut untuk menetapkan patokan etika yang dapat diserap oleh masyarakat dalam pengambilan keputusannya. Sedangkan di pihak lain, banyak masyarakat menganggap etika itu hanya demi kepentingan perusahaan sendiri. Tantangan yang dihadapi serta kesadaran akan keterbatasan perusahaan dalam memperkirakan dan mengendalikan setiap keputusannya membuat perusahaan semakin sadar tentang tantangan etika yang harus dihadapi.
INOVASI, PERUBAHAN DAN LAPANGAN KERJA
Aspek bisnis yang paling menimbulkan pertanyaan menyangkut etika adalah inovasi dan perubahan. Sering terjadi tekanan untuk berubah membuat perusahaan atau masyarakat tidak mempunyai pilihan lain. Perusahaan harus menanam modal pada mesin dan pabrik baru yang biasanya menimbulkan masalah karena ketidakcocokan antara keahlian tenaga kerja yang dimiliki dan yang dibutuhkan oleh teknologi baru. Sedangkan perusahaan yang mencoba menolak perubahan teknologi biasanya menghadapi ancaman yang cukup besar sehingga memperkuat alasan perlunya melakukan perubahan. Keuntungan ekonomis dari inovasi dan perubahan biasanya digunakan sebagai pembenaran yang utama.
Sayangnya biaya sosial dari perubahan jarang dibayar oleh para promotor inovasi. Biaya tersebut berupa hilangnya pekerjaan, perubahan dalam masyarakat, perekonomian, dan lingkungan. Biaya-biaya ini tak mudah diukur. Tantangan sosial yang paling mendasar berasal dari masyarakat yang berdiri di luar proses. Dampak teknologi baru bukan mustahil tak dapat diprediksi. Kewaspadaan dan keterbukaan yang berkesinambungan merupakan tindakan yang penting dalam usaha perusahaan memenuhi kewajibannya.
Dampak inovasi dan perubahan terhadap tenaga kerja menimbulkan banyak masalah dibanding aspek pembangunan lainnya. Banyak pegawai menganggap inovasi mengecilkan kemampuan mereka. Hal ini mengubah kondisi pekerjaan serta sangat mengurangi kepuasan kerja. Perusahaan mempunyai tanggung jawab yang lebih besar untuk menyediakan lapangan kerja dan menciptakan tenaga kerja yang mampu bekerja dalam masa perubahan. Termasuk di dalamnya adalah
mendukung, melatih, dan mengadakan sumber daya untuk menjamin orang-orang yang belum bekerja memiliki keahlian dan dapat bersaing untuk menghadapi dan mempercepat perubahan.
PASAR DAN PEMASARAN
Monopoli adalah contoh yang paling ekstrem dari distorsi dalam pasar. Ada banyak alasan untuk melakukan konsentrasi industri, misal, meningkatkan kemampuan berkompetisi, memudahkan permodalan, hingga semboyan “yang terkuat adalah yang menang”. Penyalahgunaan kekuatan pasar melalui monopoli merupakan perhatian klasik terhadap bagaimana pasar dan pemasaran dilaksanakan. Kecenderungan untuk berkonsentrasi dan kekuatan nyata dari perusahaan raksasa harus dilihat secara hati-hati.
Banyak kritik diajukan pada aspek pemasaran, misal, penyalahgunaan kekuatan pembeli, promosi barang yang berbahaya, menyatakan nilai yang masih diragukan, atau penyalahgunaan spesifik lain, seperti iklan yang berdampak buruk bagi anak-anak. Diperlukan kelompok penekan untuk mengkritik tingkah laku perusahaan. Negara pun dapat menentukan persyaratan dan standar.
PENGURUS DAN GAJI DIREKSI
Unsur kepengurusan adalah bagian penting dari agenda kebijaksanaan perusahaan karena merupakan kewajiban yang nyata dalam bertanggungjawab terhadap barang dan dana orang lain. Perusahaan wajib melaksanakan pengurusan manajemen dengan tekun atas semua harta yang dipertanggungjawabkan pada pemberi tugas. Tugas terutama berada pada pundak direksi yang diharapkan bertindak loyal, dapat dipercaya, serta ahli dalam menjalankan tugasnya. Mereka tidak boleh menyalahgunakan posisinya. Mereka bertanggung jawab pada perusahaan juga undang-undang. Dalam hal ini auditing memegang peranan penting dalam mempertahankan stabilitas antara kebutuhan manajer untuk menjalankan tugasnya dan hak pemegang saham untuk mengetahui apa yang sedang dikerjakan para manajer. Perdebatan mengenai gaji direksi terjadi karena adanya ketidakadilan dalam proses penentuannya, ruang gerak yang dimungkinkan bagi direksi, kurang jelasnya hubungan antara kinerja organisasi dan penggajian, paket-paket tambahan tersembunyi dan kelemahan dalam pengawasan. Tampaknya gaji para direksi meningkat, sementara tingkat pertumbuhan pendapatan rata-rata cenderung menurun, dan nilai saham berfluktuasi. Hal ini menimbulkan kritik dan kesadaran untuk menyoroti kenaikan gaji para eksekutif senior. Informasi dan pembatasan eksternal merupakan unsur penting dalam upaya menyelesaikan penyalahgunaan yang terjadi.
TANTANGAN MULTINASIONAL
Sering terjadi, perusahaan internasional mengambil tindakan yang tak dapat diterima secara lokal. Banyak pertanyaan mendasar bagi perusahaan multinasional, seperti kemungkinan masuknya nilai moral budaya ke budaya masyarakat lain, atau kemungkinan perusahaan mengkesploitasi lubang-lubang perundang-undangan dalam sebuah negara demi kepentingan mereka. Dalam prakteknya, perusahaan internasional mempengaruhi perkembangan ekonomi sosial masyarakat suatu negara. Mereka dapat mensukseskan aspirasi negara atau justru malah membuat frustasi dengan menghambat tujuan nasional. Hal ini meningkatkan kewajiban bagi perorangan maupun industri untuk melaksanakan aturan kode etik secara internal maupun eksternal.

MEMBANGUN DAN MENGEMBANGKAN ETIKA BISNIS DALAM PERUSAHAAN




Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar  “lips-service” belaka.  Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas. 

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada  suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi,  adalah tidak berfungsinya  praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen. Demikian pula penyebab terjadinya kasus Pertamina tahun (1975), Bank Duta (1990)  adalah serupa.

 Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan  nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis  bersama-sama corporate-culture  atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Secara sederhana yang dimaksud dengan etika bisnis adalah  cara-cara untuk melakukan kegiatan bisnis, yang mencakup seluruh aspek yang berkaitan dengan  individu,  perusahaan, industri dan juga masyarakat. Kesemuanya ini mencakup  bagaimana kita menjalankan bisnis secara adil (fairness), sesuai dengan hukum yang berlaku (legal)  tidak tergantung pada kedudukani individu ataupun perusahaan di masyarakat. 

Etika bisnis lebih luas dari ketentuan yang diatur oleh hukum, bahkan merupakan standar yang lebih tinggi dibandingkan standar minimal ketentuan hukum, karena dalam kegiatan  bisnis seringkali kita temukan “grey-area” yang tidak diatur oleh ketentuan hukum. 

Menurut Von der Embse dan R.A. Wagley dalam artikelnya di Advance Managemen Jouurnal (1988) yang berjudul Managerial Ethics Hard Decisions on Soft Criteria, membedakan antara ethics, morality dan law sebagai berikut :

•    Ethics is defined as the consensually accepted standards of behavior for an occupation, trade and profession
•    Morality  is the precepts of personal behavior based on religious or philosophical grounds
•    Law  refers to formal codes that permit or forbid  certain behaviors and may or may not enforce ethics or morality.
Berdasarkan pengertian tersebut, terdapat  tiga pendekatan dasar dalam merumuskan tingkah laku etika kita :
  1. Utilitarian Approach : setiap tindakan harus didasarkan pada konsekuensi nya. Oleh karena itu dalam bertindak seseorang  seharusnya mengikuti  cara-cara yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat, dengan cara yang tidak membahayakan dan dengan biaya serendah-rendahnya. 
  2. Individual Rights Approach : setiap orang dalam tindakan dan kelakuan nya memiliki hak dasar  yang harus dihormati. Namun tindakan ataupun tingkah laku tersebut harus dihindari apabila diperkirakan akan  menyebabkan terjadi benturan dengan hak  orang lain. 
  3. Justice Approach : para pembuat keputusan mempunyai kedudukan yang sama, dan bertindak adil dalam memberikan pelayanan kepada  pelanggan baik secara perseorangan ataupun secara kelompok.
Dari pengelompokan tersebut Cavanagh (1990) memberikan cara menjawab permasalahan etika dengan merangkum dalam 3 bentuk pertanyaan sederhana yakni :

•     Utility : Does it optimize the satisfactions of all stakeholders ?
•     Rights : Does it respect the rights of the individuals involved ?
•     Justice : Is it consistent with the canons oif justice ?

Mengapa etika bisnis dalam perusahaan terasa sangat penting saat ini?  Karena untuk membentuk suatu perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi  serta mempunyai kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu landasan yang kokoh. Biasanya dimulai dari perencanaan strategis , organisasi yang baik, sistem prosedur yang transparan didukung oleh budaya perusahaan yang andal serta etika perusahaan yang dilaksanakan secara konsisten dan konsekwen. 
Contoh kasus Enron yang selain menhancurkan dirinya telah  pula menghancurkan Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen yang memiliki reputasi internasional, dan telah dibangun lebih dari 80 tahun, menunjukan bahwa penyebab utamanya adalah praktek etika perusahaan tidak dilaksanakan dengan baik dan tentunya karena lemahnya  kepemimpinan  para pengelolanya. Dari pengalaman berbagai kegagalan tersebut, kita harus makin waspada dan tidak terpana oleh  cahaya dan kilatan suatu perusahaan hanya semata-mata dari penampilan saja, karena berkilat belum tentu emas.

Haruslah diyakini bahwa pada dasarnya praktek etika perusahaan akan selalu menguntungkan perusahaan baik untuk jangka menengah maupun jangka panjang karena :

·         •       Akan dapat mengurangi biaya akibat dicegahnya kemungkinan terjadinya friksi baik intern perusahaan maupun dengan eksternal.
·         •      Akan dapat meningkatkan motivasi pekerja.
·         •      Akan melindungi prinsip kebebasan ber-niaga
·         •      Akan meningkatkan keunggulan bersaing.

Tindakan yang tidak etis, bagi perusahaan akan memancing  tindakan balasan dari konsumen dan masyarakat dan akan sangat kontra produktif, misalnya melalui gerakan pemboikotan, larangan beredar, larangan beroperasi. Hal ini akan dapat menurunkan nilai penjualan maupun nilai perusahaan. Sedangkan  perusahaan yang menjunjung tinggi nilai-nilai etika pada umumnya perusahaan yang memiliki peringkat kepuasan bekerja yang tinggi pula, terutama apabila perusahaan tidak mentolerir tindakan yany tidak etis misalnya diskriminasi dalam sistem remunerasi atau jenjang karier. Karyawan yang berkualitas adalah aset yang paling berharga bagi perusahaan oleh karena itu semaksimal mungkin harus tetap dipertahankan. 
Untuk memudahkan penerapan etika perusahaan dalam kegiatan sehari-hari maka nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis harus  dituangkan kedalam manajemen korporasi yakni  dengan cara :

·         •    Menuangkan etika bisnis dalam suatu kode etik (code of conduct)
·         •    Memperkuat sistem pengawasan 
·         •    Menyelenggarakan pelatihan (training) untuk karyawan secara terus menerus.
Ketentuan tersebut seharusnya  diwajibkan untuk dilaksanakan, minimal oleh para pemegang saham, sebagaimana dilakukan oleh perusahaan yang tercatat di NYSE ( antara lain PT. TELKOM dan PT. INDOSAT) dimana diwajibkan untuk membuat berbagai peraturan perusahaan yang sangat ketat sesuai dengan ketentuan dari Sarbannes Oxley yang diterbitkan dengan maksud untuk mencegah  terulangnya kasus Enron dan Worldcom. 
Kesemuanya itu adalah dari segi korporasi, bagaimana penerapan untuk individu dalam korporasi tersebut ? Anjuran dari filosuf Immanual Kant yang dikenal dengan Golden Rule bisa sebagai jawabannya, yakni :

·         •    Treat others as you would like them to treat you
·         •    An action is morally wrong for a person if that person uses others, merely as means for advancing his own interests.
 
Apakah untuk masa depan etika perusahaan ini masih diperlukan ?  Bennis, Spreitzer dan Cummings (2001) menjawab “ Young leaders place great value on ethics. Ethical behavior was identified as a key characteristic of the leader of the future and was thought to be sorely lacking in current leaders.” 
Dan kasus Enron pun merupakan pukulan berat bagi sekolah-sekolah bisnis  karena ternyata etika belum masuk dalam kurikulum misalnya di Harvard Business School. Sebelumnya mahasiswa hanya beranggapan  bahwa “ethics as being about not getting caught rather than how to do the right thing in the first place”.

SEKILAS PANDANGAN ETIKA BISNIS DI INDONESIA

Di Indonesia tampaknya masalah penerapan etika perusahaan yang lebih intensif masih belum dilakukan dan digerakan secara nyata. Pada umumnya baru sampai tahap pernyataan-pernyaaatn atau sekedar “lips-service” belaka. Karena memang enforcement dari pemerintah pun belum tampak secara jelas.

Sesungguhnya Indonesia harus lebih awal menggerakan penerapan etika bisnis secara intensif terutama setelah tragedi krisis ekonomi tahun 1998. Sayangnya bangsa ini mudah lupa dan mudah pula memberikan maaf kepada suatu kesalahan yang menyebabkan bencana nasional sehingga penyebab krisis tidak diselesaikan secara tuntas dan tidak berdasarkan suatu pola yang mendasar. Sesungguhnya penyebab utama krisis ini, dari sisi korporasi, adalah tidak berfungsinya praktek etika bisnis secara benar, konsisten dan konsekwen.

Praktek penerapan etika bisnis yang paling sering kita jumpai pada umunya diwujudkan dalam bentuk buku saku “code of conducts” atau kode etik dimasing-masing perusahaan. Hal ini barulah merupakan tahap awal dari praktek etika bisnis yakni mengkodifikasi-kan nilai-nilai yang terkandung dalam etika bisnis bersama-sama corporate-culture atau budaya perusahaan, kedalam suatu bentuk pernyataan tertulis dari perusahaan untuk dilakukan dan tidak dilakukan oleh manajemen dan karyawan dalam melakukan kegiatan bisnis.

Sudah terlalu banyak kasus pelanggaran etika bisnis yang terjadi di negeri ini, dari pelaku bisnis terkecil seperti tukang gorengan keliling yang memakai plastik dalam pembuatan gorengan agar lebih renyah hingga pelaku bisnis besar seperti perusahaan operator seluler yang dalam iklannya mengandung unsur kebohongan.

Kini saatnya pemerintah Indonesia bertindak tegas dalam urusan etika bisnis, tidak hanya itu masyarakat selaku konsumen seharusnya lebih bisa menjadi “konsumen cerdas” dalam memilih produk yang dijual. Dengan ini diharapkan akan timbul kesadaran terhadap para pelaku bisnis agar semua pihak merasa aman.

Etika Bisnis Pancasila


 People of the same trade seldom meet together, even for merriment and diversion, but the conversation ends in a conspiracy against the public or in some contrivance to raise prices. It is impossible indeed to prevent such meeting by any law which either could be executed or would be consistent with liberty and  justice. But though th law cannot hinder people of the same trade from sometimes assembling together it ought to do nothing to facilitate such assemblies, much less to render them necessary. (Dikutip dalam Mubyarto, PERPIIS, h. 57)
 II.      Jika ada pendapat bahwa (ilmu) ekonomi tidak mengajarkan keserakahan sedangkan (ilmu atau praktek) bisnis memang serakah, maka memang yang relevan adalah etika bisnis bukan etika ekonomi atau ekonomi moral.Namun jelas Adam Smith mengajarkan adanya homo ekonomikus atau homo socius atau homo religiousus. Artinya manusia memang mengandung pada dirinya dua sifat yang nampak bertentangan, yaitu sifat-sifat selfish-egois dan sifat-sifat social-symphathetic. Inilah sifat-sifat manusia yang masing-masing digambarkan dalam buku Adam Smith Wealth of Nations (1776) dan The Theory of Moral Sentiments.
 III.    Pengertian social economics atau economic sociology (Max Weber) adalah cara lain untuk menggambarkan sifat-sifat sosial manusia. Artinya manusia pada dasarnya suka hidup bermasyarakat dan saling membutuhkan yang dalam bahasa Jerman dikenal dalam konsep Gemeinschaft (paguyuban) yang dilawankan dengan konsepGesellschaft (patembayan). Dalam dunia bisnis Jawa ada istilah “Tuna Satak Bati Sanak” yang artinya orang dapat mentoleransi kerugian uang dengan kompensasi bertambahnya persaudaraan (brotherhood).
 IV.    Dalam dunia perbankan di Indonesia sejak krisis moneter (krismon) tahun 1997, yang belum kunjung teratasi sampai sekarang, terlihat telah berkembang sistem dan praktek perbankan kapitalistik yang tidak etik karena menekankan pada pengejaran untung sebesar-besarnya. Dalam perbankan etik harus dihilangkan atau dikurangi nafsu mengejar untung tanpa batas, tanpa memperdulikan kepentingan pihak lain. Perbankan etik di Indonesia harus menuju pada upaya-upaya mengurangi kemiskinan dan ketimpangan ekonomi. Perbankan Syariah adalah perbankan yang demikian yang dewasa ini mulai digalakkan.
 V.     The outstanding faults of the economic society in which we live are its failure to provide for full employment and its arbitrary and equitable distribution of welath and income… I believe that there is social and psychological justification for significant inequalities of income and wealth but not for such large disparities as exist today (JM Keynes, 1936).
         Meskipun pernah diantara kita menolak tuduhan Indonesia telah melaksanakan sistem ekonomi Kapitalisme yang cacatnya disebutkan Keynes di atas, tetapi sekarang lebih banyak orang terang-terangan menerima sistem ekonomi tersebut karena dianggap “tak terelakkan” dan karena sejak 1991 jelas kapitalisme telah terbukti memenangkan persaingan dengan sosialisme.
 VI.     I shall argue that these perceptions are justified, that current capitalism is indeed morally deficient. This book is absolut whether, without abandoning capitalism, these serious deficiencies can be overcome (DW Hasslet, Capitalism with Morality, 1994).
         Kapitalisme yang “bermoral” adalah yang kaum buruh (dan petani untuk Indonesia) ikut serta aktif dalam “manajemen produksi”, yang serius mengembangkan program-program penanggulangan kemiskinan, dan jelas-jelas berusaha meningkatkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan.
         It is not capitalism per se that is immoral, but current capitalism. Capitalism with morality is possible… a capitalism without extreme inequalities of wealth and opportunity, a capitalism without alienated workers, a capital with morality. (Hasslet, h. 264).
 VII.   Jika Indonesia pernah menyambut baik sistem sosialisme religius yaitu sistem sosialisme yang aturan-aturan mainnya banyak mengacu pada ajaran-ajaran agama, maka di pihak lain ada yang menganggap lebih tepat menerapkan sistem Kapitalisme Pancasila. Pada hemat kami Pancasila berhak menjadi ideologi, pegangan yang secara penuh menggariskan aturan main, kebijakan dan program-program pembangunan nasional baik dalam bidang ekonomi maupun sosial.
 VIII.  Etika Bisnis Indonesia yang dapat kita sebut Etika Bisnis Pancasila mengacu pada setiap sila atau perasan-perasannya. Menurut Bung Karno, pada pidato kelahiran Pancasila 1 Juni 1945, Pancasila dapat diperas menjadi Sila Tunggal, yaitu Gotong Royong, atau Tri Sila sbb: 
1.       Socio-nasionalisme (Kebangsaan dan Peri Kemanusiaan) 
2.       
Socio-demokrasi 
(Demokrasi/ Kerakyatan, dan Kesejahteraan Sosial); dan 3.       Ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa
Syarat mutlak dapat diwujudkannya Etika Bisnis Pancasila adalah mengakui terlebih dahulu Pancasila sebagai ideologi bangsa, sehingga asas-asasnya dapat menjadi pedoman perilaku setiap individu dalam kehidupan ekonomi dan bisnis sehari-hari. Baru sesudah asas-asas Pancasila benar-benar dijadikan pedoman etika bisnis, maka praktek-praktek bisnis dapat dinilai sejalan atau tidak dengan pedoman moral sistem Ekonomi Pancasila.